Bell's
Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak diketahui
sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti beberapa
penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan n. fasialis
perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell's palsy. Pengamatan klinik,
pemeriksaan neurologik, laboratorium dan patologi anatomi menunjukkan bahwa BP
bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan erat dengan banyak faktor dan
sering me-rupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini lebih sering ditemukan
pada usia dewasa, jarang pada anak di bawah umur 2 tahun. Biasanya didahului
oleh infeksi saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca
dingin.
Epidemiologi
Bell’s
palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut. Di
dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden
terendah ditemikan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s
palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi
kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi.
Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes.
Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan
tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada
laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur,
namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester
ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih
tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.
Etiologi
Kausa
kelumpuhan n. fasialis perifer sampai sekarang belum diketahui secara pasti.
Umumnya dapat dikelompokkan sbb.
I) Kongenital
1.anomali
kongenital (sindroma Moebius)
2.trauma lahir
(fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial .dll.
II) Didapat
-
Trauma
-
Penyakit tulang tengkorak
(osteomielitis)
-
Proses intrakranial
(tumor, radang, perdarahan)
-
Proses di leher yang
menekan daerah prosesus stilomastoideus)
-
Infeksi tempat lain
(otitis media, herpes zoster)
-
Sindroma paralisis n.
fasialis familial
• Neurotmesis
– Terjadi karena
axon, schwann cell dan myelin sheat terputus dan terjadi degenerasi
– Saraf banyak mengandung serabut yang
jika rusak dapat mengakibatkan tipe lesi yang bermacam-macam sehingga sulit
mendiagnosis.
• Tekanan yang singkat pada saraf
mengakibatkan hilangnya konduksi yang dapat membuat ischemic dan secara cepat
reversible
– Contoh : Duduk dengan kaki menyilang
dapat mengakibatkan hilangnya konduksi sementara di ibu jari (n. peroneal)
• Kompressi injury yang lebih lama
mengakibatkan mechanical displacement nodus of ranvier
• Jika proses penekanan hilang sebelum
terjadi perubahan strktur maka akan pulih dalam beberapa minggu.
Faktor-faktor yang diduga berperan
menyebabkan BP antara lain :
-
sesudah bepergian jauh
dengan kendaraan,
-
tidur di tempat terbuka,
-
tidur di lantai,
-
hipertensi,
-
stres,
-
hiperkolesterolemi,
-
diabetes mellitus,
-
penyakit vaskuler,
-
gangguan imunologik dan faktor
genetic
Patofisiologi
Para
ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada
nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus.
Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun demikian dalam
jarak waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi paralysis bilateral. Penyakit
ini dapat berulang atau kambuh.
Patofisiologinya
belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi
pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis
sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang
temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui
kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu
keluar sebagai foramen mental.
Dengan
bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau
iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang
dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear,
nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah
korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi
yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer.
Karena
adanya suatu proses yang dikenal awam sebagai “masuk angin” atau dalam bahasa
inggris “cold”. Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi
dengan kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya
Bell’s palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam
foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN
bias terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum
timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus
fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan
fasikulus longitudinalis medialis.
Karena
itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus
lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus
fasialis LMN akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral dan
ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan
beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus
herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis.
Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel
satelit.
Pada
radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut
terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Kelumpuhan pada Bell’s
palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh.
Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada usaha
untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut
tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa
digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara
wajar sehingga tertimbun disitu.
Gejala Klinis
Pada
awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun tidur,
menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Setelah merasakan adanya
kelainan di daerah mulut maka penderita biasanya memperhatikannya lebih cermat
dengan menggunakan cermin.
Mulut
tampak moncong terlebih pada saat meringis, kelopak mata tidak dapat dipejamkan
(lagoftalmos), waktu penderita disuruh menutup kelopak matanya maka bola mata
tampak berputar ke atas.(tanda Bell). Penderita tidak dapat bersiul atau
meniup, apabila berkumur atau minum maka air keluar melalui sisi mulut yang
lumpuh.
Selanjutnya
gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi lesi.
a. Lesi
di luar foramen stilomastoideus
§ Mulut
tertarik ke arah sisi mulut yang sehat,
§ makanan
berkumpul di antar pipi dan gusi,
§ dan
sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang.
§ Lipatan
kulit dahi menghilang.
§ Apabila
mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka air mata akan
keluar terus menerus.
b. Lesi
di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)
§ Gejala
dan tanda klinik seperti pada (a),
§ ditambah
dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan)
§ dan
salivasi di sisi yang terkena berkurang.
§ Hilangnya
daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius,
sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda
timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.
c. Lesi
di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)
§ Gejala
dan tanda klinik seperti pada (a), (b),
§ ditambah
dengan adanya hiperakusis.
d. Lesi
di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)
§ Gejala
dan tanda klinik seperti (a), (b), (c)
§ disertai
dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telinga.
Kasus
seperti ini dapat terjadi pasca herpes di membran timpani dan konka. Ramsay
Hunt adalah paralisis fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di
ganglion genikulatum. Lesi herpetik terlibat di membran timpani, kanalis
auditorius eksterna dan pina.
e. Lesi
di daerah meatus akustikus interna
§ Gejala
dan tanda klinik seperti (a), (b), (c), (d),
§ ditambah
dengan tuli sebagi akibat dari terlibatnya nervus akustikus.
f. Lesi
di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons.
§ Gejala
dan tanda klinik sama dengan di atas,
§ disertai
gejala dan tanda terlibatnya nervus trigeminus, nervus akustikus, dan
kadang-kadang juga nervus abdusens, nervus aksesorius, dan nervus hipoglosus.
§ Sindrom
air mata buaya (crocodile tears syndrome) merupakan gejala sisa Bell’s palsy,
beberapa bulan pasca awitan, dengan manifestasi klinik: air mata bercucuran
dari mata yang terkena pada saat penderita makan. Nervus fasilais menginervasi
glandula lakrimalis dan glandula salivatorius submandibularis. Diperkirakan
terjadi regenerasi saraf salivatorius tetapi dalam perkembangannya terjadi
‘salah jurusan’ menuju ke glandula lakrimalis.
Diagnosis
Diagnosis
ditegakkan menurut gejalanya. Bell’s palsy selalu mengenai satu sisi wajah,
kelemahannya tiba-tiba dan dapat melibatkan baik bagian atas atau bagian bawah
wajah. Beberapa pemeriksaan penunjang yang penting untuk menentukan letak lesi
dan derajat kerusakan saraf fasialis sebagai berikut:
-
Uji kepekaan saraf (nerve
excitability test)
Pemeriksaan ini membandingkan kontraksi otot-otot
wajah kiri & kanan setelah diberi rangsang listrik. Perbedaan rangsang
lebih 3,5 mA menunjukkan keadaan patologik dan jika lebih 20 mA menunjukkan
kerusakan saraf fasialis irreversibel.
-
Uji konduksi saraf (nerve
conduction test)
Pemeriksaan
untuk menentukan derajat denervasi dengan cara mengukur kecepatan hantaran
listrik pada saraf fasialis kiri dan kanan.
-
Elektromiografi
Pemeriksaan yang menggambarkan masih berfungsi atau
tidaknya otot otot wajah. Uji fungsi pengecap 2/3 bagian depan lidah Gilroy dan
Meyer (1979) menganjurkan pemeriksaan fungsi pengecap dengan cara sederhana
yaitu rasa manis (gula), rasa asin dan rasa pahit (pil kina). Elektrogustometri
membandingkan reaksi antara sisi yang sehat dan yang sakit dengan stimulasi
listrik pada 2/3 bagian depan lidah terhadap rasa kecap pahit atau metalik.
Gangguan rasa kecap pada bell's palsy menunjukkan letak lesi saraf fasialis
setinggi khorda timpani atau proksimalnya.
-
Uji Schirmer
Pemeriksaan
ini menggunakan kertas filter khusus yang diletakkan di belakang kelopak mata
bagian bawah kiri dan kanan. Penilaian berdasarkan atas rembesan air mata pada
kertas filter, berkurang atau mengeringnya air mata menunjukkan lesi saraf
fasialis setinggi ganglion genikulatum
Penyakit lain yang juga dapat menyebabkan
kelumpuhan saraf wajah adalah:
- Tumor otak yang
menekan saraf
- Kerusakan saraf
wajah karena infeksi virus (misalnya sindroma Ramsay Hunt)
- Infeksi telinga
tengah, sinus mastoideus
- Penyakit Lyme
- Patah tulang di
dasar tengkorak.
Untuk membedakan bell's palsy dengan
penyakit tersebut, bisa dilihat dari riwayat penyakit, hasil pemeriksaan
rontgen, CT scan atau MRI. Pada penyakit Lyme perlu dilakukan pemeriksaan
darah.
Penatalaksanaan
Terapi
pertama yang harus dilakukan adalah penjelasan kepada penderita bahwa penyakit
yang mereka derita bukanlah tanda stroke, hal ini menjadi penting karena
penderita dapat mengalami stress yang berat ketika terjadi salah pengertian.
1.
Istirahat terutama pada keadaan akut
2.
Medikamentosa
Selain itu, dari tinjauan terbaru
menyimpulkan bahwa pemberian kortikosteroid dalam tujuh hari pertama efektif
untuk menangani Bell’s palsy. Pemberian sebaiknya selekas-lekasnya terutama
pada kasus bell's palsy yang secara elektrik menunjukkan denervasi. Tujuannya
untuk mengurangi udem dan mempercepat reinervasi. Dosis yang dianjurkan 3 mg/kg
BB/hari sampai ada perbaikan, kemudian dosis diturunkan bertahap selama 2
minggu.
3.
Fisioterapi
Sering dikerjakan bersama-sama pemberian
prednison, dapat dianjurkan pada stadium akut. Tujuan fisioterapi untuk
mempertahankan tonus otot yang lumpuh.
3.a. Penanganan mata
Bagian mata juga harus mendapatkan
perhatian khusus dan harus dijaga agar tetap lembab, hal tersebut dapat
dilakukan dengan pemberian pelumas mata setiap jam sepanjang hari dan salep
mata harus digunakan setiap malam
3.b. Latihan wajah
Komponen lain yang tidak kalah pentingnya
dalam optimalisasi terapi adalah latihan wajah. Latihan ini dilakukan minimal
2-3 kali sehari, akan tetapi kualitas latihan lebih utama daripada
kuantitasnya. Sehingga latihan wajan ini harus dilakukan sebaik mungkin. Pada
fase akut dapat dimulai dengan kompres hangat dan pemijatan pada wajah, hal ini
berguna mengingkatkan aliran darah pada otot-otot wajah. Kemudian latihan dilanjutkan
dengan gerakan-gerakan wajah tertentu yang dapat merangsang otak untuk tetap
memberi sinyal untuk menggerakkan otot-otot wajah. Sebaiknya latihan ini
dilakukan di depan cermin.
Gerakan yang dapat dilakukan berupa:
·
Tersenyum
·
Mencucurkan mulut, kemudian
bersiul
·
Mengatupkan bibir
·
Mengerutkan hidung
·
Mengerutkan dahi
·
Gunakan telunjuk dan ibu
jari untuk menarik sudut mulut secara manual
·
Mengangkat alis secara
manual dengan keempat jari
·
Setelah melakukan terapi
tersebut sebagian penderita akan sembuh total dan sebagian akan meninggalkan
gejala sisa yang dapat berupa:
1. Kontraktur
Hal ini dapat terlihat
dari tertariknya otot, sehingga plika nasolabialis lebih jelas terlihat
dibanding pada sisi yang sehat. Bagi pemeriksa yang belum berpengalaman mungkin
bagian yang sehat ini yang disangkanya lumpuh, sedangkan bagian yang lumpuh disangkanya
sehat.
2. Sinkinesia
(associated movement)
Dalam hal ini otot-otot
tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri, selalu timbul gerakan
bersama. Bila pasien disuruh memejamkan mata, maka otot orbikularis orispun
akan akan ikut berkontraksi dan sudut mulut terngkat. Bila ia disuruh
menggembungkan pipi, kelopak mata ikut merapat.
3. Spasme
spontan
Dalam hal ini otot-otot
wajah bergerak secara spontan, tidak terkendali. Hal ini disebut juga tic
facialis. akan tetapi tidak semua tic facialis merupakan gejala sisa dari
Bell’s palsy
Tindakan operatif
umumnya tidak dianjurkan pada anak-anak karena dapat menimbulkan komplikasi
lokal maupun intracranial.
Tindakan operatif
dilakukan apabila :
1. Tidak
terdapat penyembuhan spontan
2. Tidak
terdapat perbaikan dengan pengobatan prednisone pada pemeriksaan elektrik
terdapat denervasi total.
Beberapa tindakan operatif yang dapat
dikerjakan pada bell's palsy antara lain dekompresi n. fasialis yaitu membuka
kanalis fasialis pars piramidalis mulai dari foramen stilomastoideum nerve
graft operasi plastik untuk kosmetik (muscle sling, tarsoraphi).
Pencegahan
Agar Bell's Palsy tidak mengenai
kita, cara-cara yang bisa ditempuh adalah :
1. Jika berkendaraan motor, gunakan helm
penutup wajah full untuk mencegah angin mengenai wajah.
2. Jika tidur menggunakan kipas angin,
jangan biarkan kipas angin menerpa wajah langsung. Arahkan kipas angin itu ke
arah lain. Jika kipas angin terpasang di langit-langit, jangan tidur tepat di
bawahnya. Dan selalu gunakan kecepatan rendah saat pengoperasian kipas.
3. Kalau sering lembur hingga malam,
jangan mandi air dingin di malam hari. Selain tidak bagus untuk jantung, juga
tidak baik untuk kulit dan syaraf.
4. Bagi penggemar naik gunung, gunakan
penutup wajah / masker dan pelindung mata. Suhu rendah, angin kencang, dan
tekanan atmosfir yang rendah berpotensi tinggi menyebabkan Anda menderita
Bell's Palsy.
5.
Setelah berolah raga berat, jangan langsung mandi atau mencuci wajah dengan air
dingin.
6. Saat menjalankan pengobatan, jangan membiarkan
wajah terkena angin langsung. Tutupi wajah dengan kain atau penutup.
Prognosis
Walaupun tanpa
diberikan terapi, pasien Bell’s palsy cenderung memiliki prognosis yang baik.
Dalam sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bell’s palsy, 85% memperlihatkan
tanda-tanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset penyakit. 15% kesembuhan
terjadi pada 3-6 bulan kemudian.
Sepertiga dari
penderita Bell’s palsy dapat sembuh seperti sedia kala tanpa gejala sisa. 1/3
lainnya dapat sembuh tetapi dengan elastisitas otot yang tidak berfungsi dengan
baik. Penderita seperti ini tidak memiliki kelainan yang nyata.
Penderita Bell’s
palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa.. Faktor resiko yang
memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah:
(1) Usia di atas 60
tahun
(2) Paralisis
komplit
(3) Menurunnya
fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh,
(4) Nyeri pada
bagian belakang telinga dan
(5) Berkurangnya
air mata.
Pada penderita
kelumpuhan nervus fasialis perifer tidak boleh dilupakan untuk mengadakan
pemeriksaan neurologis dengan teliti untuk mencari gejala neurologis lain.
Pada umumnya
prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh dalam waktu 6
minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun atau
lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan
gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya punya perbedaan
peluang 10-15 persen antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa. Jika
tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita cenderung meninggalkan gejala
sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang spasme hemifasial.