Monday, October 31, 2016

FARMAKOLOGI OBAT ANTI JAMUR



Infeksi jamur merupakan salah satu penyakit yang kerap ditemui di Indonesia. Infeksi jamur (mikosis), dapat dibedakan menjadi tiga yaitu superfisial, subkutan (tropical) dan sistemik (invasif). Mikosis superfisial menyerang kulit, rambut dan kuku. Mikosis subkutan (trpoical) menyerang otot dan jaringan ikat yang berada di bawah kulit. Mikosis sistemik (invasif) menyerang organ internal dan terbagi menjadi primer dan oportunistik.

Obat anti jamur bekerja pada tiga struktur dari jamur yaitu:
1. Membran sel
2. Sintesis DNA
3. Dinding sel

Berikut ini adalah penjelasan obat-obat anti jamur:

1. Amphotericin B
Merupakan antibiotik polyene yang bersifat amfifatik (hidrofilik dan lipofilik). Struktur polyene ini dapat berikatan dengan ergosterol yang berada membran sehingga dapat merubah permebialitas membran sel. Resistensi dapat terjadi apabila terjadi penurunan konsentrasi membran terhadap ergosteerol dan mutasi dari target. Dapat bersifat fungistatik ataupun fungisida.

ADME:

  • Absorbsi: diabsorbsi secara buruk di saluran pencernaan. Oleh karena itu obat ini dapat ditemui dalam sediaan intravena atau topikal. Komposisi obat ini berisi suspensi nolipid koloid, lipid kompleks atau liposomal.
  • Distribusi: Obat ini dapat didistribusikan hingga menuju sistem saraf pusat sehingga dapat digunakan untuk mikosis sistemik/
  • Metabolisme: metabolisme obat ini dilakukan di hati dan berjalan lambat kurang lebih selama dua minggu.
  • Ekskresi: obat ini diekskresikan melalui urin. Bagi penderita disfungsi renal diharapkan untuk melakukan penyesuaian dosis.
Preparat: 
Injeksi: 
  • Formulasi konvensional : fungizone
  • Lipid formulation: abelcet, ambisome, amphotec
Topikal: cream, losion, ointment



Indikasi:

  • Pasien dengan infeksi jamur sistemik seperti kandida, kriptokokus, histoplasmosis
  • Terapi akut pada pasien immunosuppresed
  • Terapi lokal pada ulkus kornea dan keratitis, artritis, kandiduria

Kontraindikasi dan Efek Samping:

  • Jarang digunakan pada klinik karena cenderung toksik.
  • Berhubungan dengan infusion seperti nyeri, demam, spasme otot, shock like (penurunan tekanan darah). Apabila terjadi hal seperti ini beri premidikasi berupa antihistamin, antipiretik dan steroid.
  • Nefrotoksik karena dapat menyebabkan hipokalemia, hipomagnesiumia dan anemia. Dapat diatasi dengan pengurangan penggunaan dosis atau dikombinasi dengan flucytosine. Formulasi liposomal dapat menurunkan ikatan obat dengan sel ginjal
  • Neurotoksik karena dapat menyebabkan kejang.
2. Flucytosine
Bekerja dengan cara menggangu sintesis protein. Setelah obat ini masuk dan penetrasi ke sel jamur, akan diubah menjadi florouracil (5-FU) oleh enzim cytosine deaminase. Enzim ini akan kompetitif dengan RNA jamur sehingga dapat mengganggu sintesis protein. Obat ini lebih bersifat fungisida. Resistensi apabila terjadi mutasi enzim cytosine deaminase.

ADME:

  • Absorbsi: diabsorbsi cepat secara per oral.
  • Distribusi: distribusi luas ke sistem saraf pusat, mata, dan traktus urinarius.
  • Ekskresi: obat ini diekskresikan melalui urin. Bagi penderita disfungsi renal tidak perlu untuk melakukan penyesuaian dosis.
Preparat: 
Kapsul ancobon

Indikasi:

  • Kandidiasis sistemik, kriptokokus
  • Karena spektrum yang sempit, biasanya dikombinasikan dengan Amphotericin B atau Triazole untuk meningkatkan uptake flucositosine dari plasma ke membran sel.
Kontraindikasi dan Efek Samping:

  • Jangan digunakan pada IBU HAMIL
  • Toksisitas dapat menyebabkan supresi tulang belakang (leukopenia, thrombositopenia) dan disfungsi hepat
3. Azole
Obat tipe azole terbagi menjadi dua jenis yaitu Imidazole dan Triazole. Cara kerjadi obat ini yaitu dengan menghalangi konversi lanosterol menjadi ergosterol sehingga pembentukan dinding sel dapat dihambat. Pada fungi, enzim sitokrom P450 lanosterol 14-alpha demetilase bertanggung jawab terhadap konversi lanosterol menjadi ergosterol. Azole berikatan dengan enzim tersebut sehingga menghambat produksi dari ergosterol. Tetapi patut diwaspadai bahwa ada beberapa interaksi tertentu yaitu dengan obat Rifampisin dan penurunan dari steroidneogenesis (ketokonazol dan itraconazole).
Contoh Imidazole; Ketokonazole, Clotrimazole, Miconazole
Contoh Triazole: Itraconazole, Fluconazole, Voriconazole, Terconazole

ADME:

  • Absorbsi: diabsorbsi cepat secara per oral maupun intravena. Fluconazole paling mudah diabsorbsi secara oral. Voriconazole paling cepat diabsorbsi dari yang lain.
  • Distribusi: distribusi luas kecuali Fluconazole yang rendah di sistem saraf pusat
  • Ekskresi: obat ini diekskresikan melalui urin. Bagi penderita disfungsi renal tidak perlu untuk melakukan penyesuaian dosis.
  • Lebih bersifat fungsistatik daripada fungisida (dapat dikombinasikan dengan amphotericin B)

4. Echinocandin
Bekerja dengan cara menghambat sintesis dinding sel jamur dengan glucan sintase inhibitor. 



Friday, October 21, 2016

Friday, October 14, 2016

GPU vs CPU Rendering on Laptop i5 4210U - Nvidia 840M





Pernah render video pakai laptop?

Mau tahu seberapa dampak cpu dan gpu terhadap proses render tersebut?

Yuk kita simak!

Sunday, October 2, 2016

Review GTA V on i5 4210U - Nvidia 840M

Jadi dokter juga harus butuh refeshing. Salah satu bentuk refreshing adalah dengan main game!

Nah ini saya sertakan sebuah video tentang game GTA V yang ternyata bisa dimainkan di laptop saya!

Yuk kita simak!



BELL'S PALSY


Definisi
Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti beberapa penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell's palsy. Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologik, laboratorium dan patologi anatomi menunjukkan bahwa BP bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan erat dengan banyak faktor dan sering me-rupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa, jarang pada anak di bawah umur 2 tahun. Biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin.
Epidemiologi
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah ditemikan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.
Etiologi
Kausa kelumpuhan n. fasialis perifer sampai sekarang belum diketahui secara pasti. Umumnya dapat dikelompokkan sbb.
I) Kongenital
1.anomali kongenital (sindroma Moebius)
2.trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial .dll.
 II) Didapat
-          Trauma
-          Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)
-          Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan)
-          Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus)
-          Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster)
-          Sindroma paralisis n. fasialis familial
• Neurotmesis
– Terjadi karena axon, schwann cell dan myelin sheat terputus dan terjadi degenerasi
– Saraf banyak mengandung serabut yang jika rusak dapat mengakibatkan tipe lesi yang bermacam-macam sehingga sulit mendiagnosis.
• Tekanan yang singkat pada saraf mengakibatkan hilangnya konduksi yang dapat membuat ischemic dan secara cepat reversible
– Contoh : Duduk dengan kaki menyilang dapat mengakibatkan hilangnya konduksi sementara di ibu jari (n. peroneal)
• Kompressi injury yang lebih lama mengakibatkan mechanical displacement nodus of ranvier
• Jika proses penekanan hilang sebelum terjadi perubahan strktur maka akan pulih dalam beberapa minggu.
Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan BP antara lain :
-          sesudah bepergian jauh dengan kendaraan,
-          tidur di tempat terbuka,
-          tidur di lantai,
-          hipertensi,
-          stres,
-          hiperkolesterolemi,
-          diabetes mellitus,
-          penyakit vaskuler,
-          gangguan imunologik dan faktor genetic
Patofisiologi
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun demikian dalam jarak waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi paralysis bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh.
Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental.
Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer.
Karena adanya suatu proses yang dikenal awam sebagai “masuk angin” atau dalam bahasa inggris “cold”. Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bias terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis.
Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit.
Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun disitu.
Gejala Klinis
Pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun tidur, menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Setelah merasakan adanya kelainan di daerah mulut maka penderita biasanya memperhatikannya lebih cermat dengan menggunakan cermin.
Mulut tampak moncong terlebih pada saat meringis, kelopak mata tidak dapat dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita disuruh menutup kelopak matanya maka bola mata tampak berputar ke atas.(tanda Bell). Penderita tidak dapat bersiul atau meniup, apabila berkumur atau minum maka air keluar melalui sisi mulut yang lumpuh.
Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi lesi.
a.       Lesi di luar foramen stilomastoideus
§  Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat,
§  makanan berkumpul di antar pipi dan gusi,
§  dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang.
§  Lipatan kulit dahi menghilang.
§  Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus.
b.      Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)
§  Gejala dan tanda klinik seperti pada (a),
§  ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan)
§  dan salivasi di sisi yang terkena berkurang.
§  Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.
c.       Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)
§  Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), (b),
§  ditambah dengan adanya hiperakusis.
d.      Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)
§  Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c)
§  disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telinga.
Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di membran timpani dan konka. Ramsay Hunt adalah paralisis fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di ganglion genikulatum. Lesi herpetik terlibat di membran timpani, kanalis auditorius eksterna dan pina.
e.       Lesi di daerah meatus akustikus interna
§  Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c), (d),
§  ditambah dengan tuli sebagi akibat dari terlibatnya nervus akustikus.
f.       Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons.
§  Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas,
§  disertai gejala dan tanda terlibatnya nervus trigeminus, nervus akustikus, dan kadang-kadang juga nervus abdusens, nervus aksesorius, dan nervus hipoglosus.
§  Sindrom air mata buaya (crocodile tears syndrome) merupakan gejala sisa Bell’s palsy, beberapa bulan pasca awitan, dengan manifestasi klinik: air mata bercucuran dari mata yang terkena pada saat penderita makan. Nervus fasilais menginervasi glandula lakrimalis dan glandula salivatorius submandibularis. Diperkirakan terjadi regenerasi saraf salivatorius tetapi dalam perkembangannya terjadi ‘salah jurusan’ menuju ke glandula lakrimalis.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan menurut gejalanya. Bell’s palsy selalu mengenai satu sisi wajah, kelemahannya tiba-tiba dan dapat melibatkan baik bagian atas atau bagian bawah wajah. Beberapa pemeriksaan penunjang yang penting untuk menentukan letak lesi dan derajat kerusakan saraf fasialis sebagai berikut:
-          Uji kepekaan saraf (nerve excitability test)
Pemeriksaan ini membandingkan kontraksi otot-otot wajah kiri & kanan setelah diberi rangsang listrik. Perbedaan rangsang lebih 3,5 mA menunjukkan keadaan patologik dan jika lebih 20 mA menunjukkan kerusakan saraf fasialis irreversibel.
-          Uji konduksi saraf (nerve conduction test)
 Pemeriksaan untuk menentukan derajat denervasi dengan cara mengukur kecepatan hantaran listrik pada saraf fasialis kiri dan kanan.
-          Elektromiografi
Pemeriksaan yang menggambarkan masih berfungsi atau tidaknya otot otot wajah. Uji fungsi pengecap 2/3 bagian depan lidah Gilroy dan Meyer (1979) menganjurkan pemeriksaan fungsi pengecap dengan cara sederhana yaitu rasa manis (gula), rasa asin dan rasa pahit (pil kina). Elektrogustometri membandingkan reaksi antara sisi yang sehat dan yang sakit dengan stimulasi listrik pada 2/3 bagian depan lidah terhadap rasa kecap pahit atau metalik. Gangguan rasa kecap pada bell's palsy menunjukkan letak lesi saraf fasialis setinggi khorda timpani atau proksimalnya.
-          Uji Schirmer
Pemeriksaan ini menggunakan kertas filter khusus yang diletakkan di belakang kelopak mata bagian bawah kiri dan kanan. Penilaian berdasarkan atas rembesan air mata pada kertas filter, berkurang atau mengeringnya air mata menunjukkan lesi saraf fasialis setinggi ganglion genikulatum
 Penyakit lain yang juga dapat menyebabkan kelumpuhan saraf wajah adalah:
- Tumor otak yang menekan saraf
- Kerusakan saraf wajah karena infeksi virus (misalnya sindroma Ramsay Hunt)
- Infeksi telinga tengah, sinus mastoideus
- Penyakit Lyme
- Patah tulang di dasar tengkorak.
Untuk membedakan bell's palsy dengan penyakit tersebut, bisa dilihat dari riwayat penyakit, hasil pemeriksaan rontgen, CT scan atau MRI. Pada penyakit Lyme perlu dilakukan pemeriksaan darah.
Penatalaksanaan
Terapi pertama yang harus dilakukan adalah penjelasan kepada penderita bahwa penyakit yang mereka derita bukanlah tanda stroke, hal ini menjadi penting karena penderita dapat mengalami stress yang berat ketika terjadi salah pengertian.
1. Istirahat terutama pada keadaan akut
2. Medikamentosa
Selain itu, dari tinjauan terbaru menyimpulkan bahwa pemberian kortikosteroid dalam tujuh hari pertama efektif untuk menangani Bell’s palsy. Pemberian sebaiknya selekas-lekasnya terutama pada kasus bell's palsy yang secara elektrik menunjukkan denervasi. Tujuannya untuk mengurangi udem dan mempercepat reinervasi. Dosis yang dianjurkan 3 mg/kg BB/hari sampai ada perbaikan, kemudian dosis diturunkan bertahap selama 2 minggu.
3. Fisioterapi
Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan pada stadium akut. Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh.
 3.a. Penanganan mata
Bagian mata juga harus mendapatkan perhatian khusus dan harus dijaga agar tetap lembab, hal tersebut dapat dilakukan dengan pemberian pelumas mata setiap jam sepanjang hari dan salep mata harus digunakan setiap malam
3.b. Latihan wajah
Komponen lain yang tidak kalah pentingnya dalam optimalisasi terapi adalah latihan wajah. Latihan ini dilakukan minimal 2-3 kali sehari, akan tetapi kualitas latihan lebih utama daripada kuantitasnya. Sehingga latihan wajan ini harus dilakukan sebaik mungkin. Pada fase akut dapat dimulai dengan kompres hangat dan pemijatan pada wajah, hal ini berguna mengingkatkan aliran darah pada otot-otot wajah. Kemudian latihan dilanjutkan dengan gerakan-gerakan wajah tertentu yang dapat merangsang otak untuk tetap memberi sinyal untuk menggerakkan otot-otot wajah. Sebaiknya latihan ini dilakukan di depan cermin.
Gerakan yang dapat dilakukan berupa:
·         Tersenyum
·         Mencucurkan mulut, kemudian bersiul
·         Mengatupkan bibir
·         Mengerutkan hidung
·         Mengerutkan dahi
·         Gunakan telunjuk dan ibu jari untuk menarik sudut mulut secara manual
·         Mengangkat alis secara manual dengan keempat jari
·         Setelah melakukan terapi tersebut sebagian penderita akan sembuh total dan sebagian akan meninggalkan gejala sisa yang dapat berupa:
1.      Kontraktur
Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga plika nasolabialis lebih jelas terlihat dibanding pada sisi yang sehat. Bagi pemeriksa yang belum berpengalaman mungkin bagian yang sehat ini yang disangkanya lumpuh, sedangkan bagian yang lumpuh disangkanya sehat.
2.      Sinkinesia (associated movement)
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri, selalu timbul gerakan bersama. Bila pasien disuruh memejamkan mata, maka otot orbikularis orispun akan akan ikut berkontraksi dan sudut mulut terngkat. Bila ia disuruh menggembungkan pipi, kelopak mata ikut merapat.
3.      Spasme spontan
Dalam hal ini otot-otot wajah bergerak secara spontan, tidak terkendali. Hal ini disebut juga tic facialis. akan tetapi tidak semua tic facialis merupakan gejala sisa dari Bell’s palsy
Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak-anak karena dapat menimbulkan komplikasi lokal maupun intracranial.
Tindakan operatif dilakukan apabila :
1.      Tidak terdapat penyembuhan spontan
2.      Tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednisone pada pemeriksaan elektrik terdapat denervasi total.
Beberapa tindakan operatif yang dapat dikerjakan pada bell's palsy antara lain dekompresi n. fasialis yaitu membuka kanalis fasialis pars piramidalis mulai dari foramen stilomastoideum nerve graft operasi plastik untuk kosmetik (muscle sling, tarsoraphi).
Pencegahan
Agar Bell's Palsy tidak mengenai kita, cara-cara yang bisa ditempuh adalah :
1. Jika berkendaraan motor, gunakan helm penutup wajah full untuk mencegah angin mengenai wajah.
2. Jika tidur menggunakan kipas angin, jangan biarkan kipas angin menerpa wajah langsung. Arahkan kipas angin itu ke arah lain. Jika kipas angin terpasang di langit-langit, jangan tidur tepat di bawahnya. Dan selalu gunakan kecepatan rendah saat pengoperasian kipas.
3. Kalau sering lembur hingga malam, jangan mandi air dingin di malam hari. Selain tidak bagus untuk jantung, juga tidak baik untuk kulit dan syaraf.
4. Bagi penggemar naik gunung, gunakan penutup wajah / masker dan pelindung mata. Suhu rendah, angin kencang, dan tekanan atmosfir yang rendah berpotensi tinggi menyebabkan Anda menderita Bell's Palsy.
5. Setelah berolah raga berat, jangan langsung mandi atau mencuci wajah dengan air dingin.
6. Saat menjalankan pengobatan, jangan membiarkan wajah terkena angin langsung. Tutupi wajah dengan kain atau penutup.
Prognosis
Walaupun tanpa diberikan terapi, pasien Bell’s palsy cenderung memiliki prognosis yang baik. Dalam sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bell’s palsy, 85% memperlihatkan tanda-tanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset penyakit. 15% kesembuhan terjadi pada 3-6 bulan kemudian.
Sepertiga dari penderita Bell’s palsy dapat sembuh seperti sedia kala tanpa gejala sisa. 1/3 lainnya dapat sembuh tetapi dengan elastisitas otot yang tidak berfungsi dengan baik. Penderita seperti ini tidak memiliki kelainan yang nyata.
Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa.. Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah:
(1) Usia di atas 60 tahun
(2) Paralisis komplit
(3) Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh,
(4) Nyeri pada bagian belakang telinga dan
(5) Berkurangnya air mata.
Pada penderita kelumpuhan nervus fasialis perifer tidak boleh dilupakan untuk mengadakan pemeriksaan neurologis dengan teliti untuk mencari gejala neurologis lain.

Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya punya perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang spasme hemifasial.

SKIZOFRENIA

Definisi
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “schizein” yang berarti “terpisah”atau “pecah”, dan “phren” yang artinya “jiwa”. Pada skizofrenia terjadi pecahnya atau ketidakserasian antara afeksi, kognitif dan perilaku. Secara umum, simptom skizofrenia dapat dibagi menjadi tiga golongan: yaitu simptom positif, simptom negative, dan gangguan dalam hubungan interpersonal. Skizofrenia adalah kekacauan jiwa yang serius ditandai dengan kehilangan kontak pada kenyataan (psikosis), halusinasi, khayalan (kepercayaan yang salah), pikiran yang abnormal dan menggangu kerja dan fungsi sosial (DSM-IV-TR, 2008)
Skizofrenia adalah penyakit otak yang timbul akibat ketidakseimbangan pada dopamine, yaitu salah satu sel kimia dalam otak. Ia adalah gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respon emosional dan menarik diri dari hubungan antarpribadi normal, sering kali diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah) dan halusinasi (persepsi tanpa ada rangsangan panca indera) (Arif, 2006).
Epidemiologi
Skizoffrenia cenderung menjadi penyakit menahun atau kronis maka angka insidensi penyakit ini dianggap lebih rendah dari angka frevalensi dan diperkirakan mendekati angka sepuluh ribu pertahun. Ditemukan juga bahwa life prevalensi skizofrenia diperkirakan 0,5%.(Hawari,2001)
Perbandingan antara jenis kelamin pria dan wanita prevalensinya sama akan tetapi menunjukkan perbedaan dalam onset skizofrenia dan perjalanan penyakit. Pria mempunyai onset skizofrenia lebih awal daripada wanita. Usia puncak onset untuk pria adalah 15-25 than, dan untuk wanita usia puncaknya adalah 25-35 tahun. (kaplon dan Sadock, 1997)
Patofisiologi
Secara terminologi, skizofrenia berarti skizo adalah pecah dan frenia berarti kepribadian. Scizophrenia adalah sekelompok gangguan psikotik dengan gangguan dasar pada kepribadian, distorsi dan perasaan pikir, waham yang aneh, gangguan persepsi, afek yang abnormal. Meskipun demikian kesadaran yang jernih, kapasitas intelektual biasanya tidak terganggu, mengalami hendaya berat dalam menilai realitas (pekerjaan, sosial, dan waktu senggang).
Patofisiologi skizofrenia melibatkan sistem dopaminergik dan serotonergik. Skizofrenia terjadi akibat dari peningkatan aktivitas neurotransmitter dopaminergik. Peningkatan ini mungkin merupakan akibat dari meningkatnya pelepasan dopamine, terlalu banyaknya reseptor dopamine, turunnya nilai ambang, atau hipersentivitas reseptor dopamine, atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut.
Hipotesis/teori tentang patofisiologi skizofrenia :
a)    Pada pasien skizofrenia terjadi hiperaktivitas sistem dopaminergik
b)   Hiperdopaminegia pada sistem meso limbikà berkaitan dengan gejala positif
c)    Hipodopaminergia pada sistem meso kortis dan nigrostriatalàbertanggungjawab terhadap gejala negatif dan gejala ekstrapiramidal.
Jalur dopaminergik saraf :
a)    Jalur nigrostriatal : dari substansia nigra ke basal gangliaà fungsi gerakan, EPS
b)   Jalur mesolimbik : dari tegmental area menuju ke sistem limbik à memori, sikap, kesadaran, proses stimulus.
c)    Jalur mesokortikal : dari tegmental area menuju ke frontal cortex àkognisi, fungsi sosial, komunikasi, respons terhadap stress.
d)   Jalur tuberoinfendibular : dari hipotalamus ke kelenjar pituitary àpelepasan prolaktin.
e)   Terdiri dari 3 fase :
·       Premorbid : semua fungsi masih normal
·         Prodomal : simptom psikotik mulai nyata (isolasi sosial, ansietas, gangguan tidur, curiga). Pada fase ini, individu mengalami kemunduran dalam fungsi- fungsi mendasar ( pekerjaan dan rekreasi) dan muncul symptom nonspesifik seperti gangguan tidur, ansietas, konsentrasi berkurang, dan deficit perilaku. Simptom positif seperti curiga mulai berkembang di akhir fase prodromal dan berarti sudah mendekati menjadi fase psikosis.
·         Psikosis :
Ø  Fase Akut : dijumpai gambaran psikotik yang jelas, misalnya waham, halusinasi, gangguan proses piker, pikiran kacau. Simptom negative menjadi lebih parah sampai tak bisa mengurus diri. Berlangsung 4 – 8 minggu
Ø  Stabilisasi : 6 – 18 bulan
Ø  Stabil : terlihat residual, berlangsung 2- 6 bulan
Gejala Klinis
gejala skizofrenia dibagi dalam 2 kategiri utama yaitu gejala positif dan gejala negatif, yakni :
·         Gejala positif atau gejala nyata:
ü  Halusinasi : persepsi sensori yang salah atau pengalaman persepsi yang tidak terjadi di dalam realitas.
ü  Waham : keyakinan yang salah dan dipertahankan yang tidak memiliki dasar di dalam realitas.
ü  Ekopraksia : peniruan gerakan dan gestur orang lain yang diamati klien.
ü  Flight of ideas : aliran verbalisasi yang terus menerus saat individu melompat dari satu topik ke topik laindengan cepat.
ü  Perseverasi : terus menerus membicarakan satu topik atau gagasan, pengulangan kalimat,kata atau frasa secara verbal dan menolak untuk mengubah topik tersebut.
ü  Asosiasi longgar : pikiran atau gagsan yang terpecah-pecah atau buruk.
ü  Gagasan rujukan : kesan yang salah bahwa peristiwa eksternal memiliki makna yang khusus dalam individu.
ü  Ambivalensi : mempertahanan keyakinan dan perasaan yang tampak kontradiktif tentang individu,peristiwa atau situasi yang sama.
·         Gejala negatif atau gejala samar :
ü  Apati : perasaan tidak peduli terhaap individu, aktivitas atau peristiwa.
ü  Alogia : kecendrungan berbicara sangat sedikit atau menyampaikan sedikit subtansi makna (miskin isi).
ü  Afek datar : tidak adanya ekspresi wajah yang akan menunjukkan emosi atau mood.
ü  Anhedonia : merasa tidak senang atau tidak gembira dalam menjalani hidup, aktifitas atau hubungan.
ü  Katattonia : imobilitas karna faktor psikologis, kadang kala ditandai oleh periode agitasi gembira, klien tampak tidak bergerak, seolah-olah dalam keadaan setengah sadar.

ü  Tidak memiliki kemauan : tidak adanya keinginan. Ambisi atau dorongan untuk bertindak atau melakukan tugas-tugas.