Definisi
Delirium
adalah sindrom mental organik akut atau subakut ditandai dengan gangguan
kesadaran, gangguan kognitif global, disorientasi,perkembangan gangguan
persepsi, defisit perhatian, penurunan atau peningkatan aktivitas psikomotor
(tergantung pada jenis delirium),gangguan siklus tidur-bangun, dan fluktuasi
dalam presentasi(Maldonado, 2008) . Derilium adalah kondisi medis yang
ditandai dengan onset mendadak dari kebingungan dan perubahan status mental.
Derilium juga dikenal dengan status konfungsional akut. Penyebabnya antara lain
penyakit berat yang terjadi secara tiba-tiba, reaksi putus obat dan alkohol,
stress atau infeksi dan mereka yang berusia tua, penderita demensia, dan
malnutrisi. Sindrom derilium ini memiliki banyak nama, beberapa literatur
menggunakan istilah seperti acute mental
status change, altered mental status, reversible dementia, toxic/metabolic
enchepalopathy, organic brain syndrome, dysergastricreaction dan acute conventional state (Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia, 2009)
Epidemiologi
Prevalensi
sindrom delirium di ruang rawat akut geriatric Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
(RSCM) adalah 23% (tahun 2004) seringkali insidensinya mencapai 17% pada pasien
yang sedang dirawat inap. Sindrom deliriu mempunyai dampak buruk, tidak saja
karena meningkatkan resiko kematian sampai 10 kalo lipat namun juga
memperpanjang masa rawat serta meningkatkan kebutuhan keperawatan dari petugas
kesehatan (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2009) .
Etiologi dan Faktor Predisposisi
Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (2009) menyatakan bahwa aktor
pencetus yang sering dijumpai antara lain: iatrogenik (pembedahan, kateterisasi
urin, physical restrains),
obat-obatan psikotropika, gangguan metabolik/cairan (insufisiensi ginjal,
dehidrasi, hipernatremia, hiperglikemia, hipokalemia, azotemia), penyakit
fisik/psikiatrik (demam, infeksi, stress, alcohol, putus obat, fraktur, malnutrisi,
dan gangguan pola tidur), serta perubahan lingkungan (perpindahan ruangan/overstimulation).
Faktor
resiko delirium antara lain: usia > 65 tahun, gangguan faal kognitif ringan
(mild cognitive impairment/MCI) sampai
demensia dan hip fracture(National Institute For Health and Clinical
Excellence, 2010) .
Selain hal tersebut, gangguan sensorium (penglihatan dan atau pendengaran),
polifarmasi, dan kondisi fisik yang lemah juga menjadi faktor resiko delirium (Potter & George, 2006) . Penyakit jantung (gagal jantung, aritia,
infark jantung), penyakit paru (COPD), endokrin (kegagalan adrenal,
abnormalitas tiroid atau paratiroid), kelainan hematologi (anemia, leukemia,
diskrasia) dan penyakit hepar serta ginjal juga menjadi kondisi medis yang
melatarbelakangi terjadinya delirium (Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, 2012) .
Patofisiologi
Defisiensi
neurotransmitter asetilkolin sering dihubungkan dengan sindrom delirium.
Penyebabnya antara lain gangguan metabolism oksidatif di otak yang dikaitkan
dengan hipoksia dan hipoglikemia. Faktor lain yang berperan meningkatnya
sitokin otak pada penyakit akut. Gangguan atau defisiensi asetilkolin atau
neurotransmitter serta second messenger
system. Pada gilirannya, kondisi tadi akan memunculkan gejala-gejala
serebral dan aktivitas psikomotor yang terdapat pada sindrom delirium (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia, 2009) .
Gejala Klinis
Berdasarkan
pedoman diagnostik dalam Maslim (2001), gejala delirium adalah sebagai berikut:
1) Gangguan
kesadaran dan perhatian:
a. Dari
taraf kesadaran berkabut samapai koma
b. Menurunnya
kemampuan untuk mengarahkan, memusarkan, mempertahankan dan mengalihkan
perhatian.
2) Gangguan
kognitif secara umum:
a. Distorsi
persepsi, ilusi dan halusinasi-seringkalo visual
b. Hendaya
daya pikir dan pengertian abstrak, dengan atau tanpa waham yang bersifat
sementara, tetapi sangat khas terdapat inkoherensi yang ringan
c. Hendaya
daya ingat segera dan jangka pendek, namun daya ingat jangka panjang relative
masih utuh
d. Disorientasi
waktu, pada kasus yang berat, terdapat juga disorientasi tempat dan orang.
3) Gangguan
psikomotor
a. Hipo
atau hiper-aktivitas dan pengalihan aktivitas yang tidak terduga dari satu ke
yang lain.
b. Waktu
bereaksi yang lebih panjang
c. Arus
pembicaraan yang bertambahn atau berkurang
d. Reaksi
terperanjat meningkat
4) Gangguan
siklus tidur-bangun
a. Insomnia
atau, pada kasus yang berat, tidak dapat tidur sama sekali atau terbaliknya
siklus tidur-bangun, mengantuk pada siang hari.
b. Gejala
yang memburuk pada malam hari
c. Mimpi
yang mengganggu atau mimpi buruk, yang dapat berlanjut menjadi halusinasi
setelah bangun tidur
5) Gangguan
emosional: depresi, anxietas atau takut, lekas marah, euphoria, apatis, atau
rasa kehilangan akal.
6) Onset
biasanya cepat, perjalanan penyakitnya hilang-timbul sepanjang hari dan keadaan
itu berlangsung kurang dari 6 bulan.
Diagnosis dan Diagnosis Banding
Untuk
menentukan diagnosis delirium, perlu diperhatikan gejala klinis atau indikator
yang timbul dan berikan penilaian berdasarkan kriteria Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV) atau
Short Confusion Assessment Method (Short CAM). Short CAM biasanya digunakan
pada pasien pasca operasi(National Institute For Health and Clinical Excellence, 2010) . DSM-IV terlampir.
Diagnosis
banding delirium adalah sebagai berikut:
1) Sindrom
organiklain, seperti demensia
2) Gangguan
psikotik akut dan sementara
3) Skizofrenia
dalam keadaan akut
4)
Gangguan afektif + confuntional features
5) Derilium
akibat alcohol/zat psikoaktif lain
6) Gangguan
stress akut(Maslim, 2001) .
Penatalaksanaan
Tiga tujuan terapi delirium adalah:
-
Mencari dan mengobati penyebab delirium
(diperlukan pemeriksaan fisik yang cermat dan pemeriksaan penunjang yang
adekuat. Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, analisis gas darah, fungsi
hati, dan fungsi ginjal, serta EEG atau pencitraan otak bila terdapat indikasi
disfungsi otak).
-
Memastikan keamanan pasien
-
Mengobati gangguan perilaku terkait dengan
delirium, misalnya agitasi psikomotor (Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, 2012) .
1) Terapi
Farmakologis
Penggunaan
obat penenang harus dijagapenggunaannya seminimal mungkin. Semua obat penenang
dapat menyebabkan delirium, terutama yang meiliki efek samping antikolinergik.
Banyak pasien berusia tuamemiliki hypoactive
delirium (delirium tenang) dan tidak memerlukan obat sedasi. Identifikasi
awal delirium dan pengobatan yang tepat dari penyebab yang mendasari dapat
mengurangi keparahan dan durasi delirium (Potter & George, 2006) .
Dalam
pengobatan delirium, penggunaan satu jenis obat saja lebih baik, dimulai dengan
dosis serendah mungkin dan lakukan peningkatan dosis secara perlahan jika
diperlukan. Semua obat harus ditinjau setidaknya setiap 24 jam. Obat pilihan
untuk delirium adalah haloperidol2-5 mgIV IMyang dapat diberikan sampai dua jam
dengan dosis maksimum 20 mg (oral atau IM). Akan tetapi mungkin perlu melebihi
dosis tersebut tergantung pada beratnya penyakit, keparahan gejala psikotik,
dan jenis kelamin. Pada pasien dengan demensia dengan Badan Lewy dan mereka
dengan penyakit Parkinson dapat diberikan pengobatan alternatif berupa
lorazepam 1-2 mg oral yang dapat diberikan sampai dua jam (maksimum 3 mg dalam
24 jam). Kontraindikasi lorazepam untuk pasien dengan gangguan pernafasan (Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia,
2012; Maldonado, 2008).
2) Terapi
Non-Farmakologis
a. Psikoterapi
suportif yang memberikan perasaan aman dapat membantu pasien menghadapi
frustrasi dan kebingungan akan kehilangan fungsi memorinya.
b. Perlunya
reorientasi lingkungan, misalnya tersedia jam besar.
c. Memberikan
edukasi kepada keluarga cara memberikan dukungan kepada pasien (Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa
Indonesia, 2012) .
Komplikasi
Komplikasi yang timbul dapat berupa:
1) dekubitus
2) Infeksi
nosokomial
3) gangguan
fungsional
4) Masalah
kontinensia
5) over-sedasi
6) malnutrisi
(Potter & George, 2006) .
Prognosis
Prognosis
yang berhubungan dengan mortalitas pernah diteliti oleh Rockwood selama 3
tahun. Pasien dengan sindrom delirium mempunyai resiko 1,71 lebih tinggi untuk
meninggal dalam tiga tahun ke depan dibandingkan yang tidak menderita delirium.
Peningkatan resiko tersebut tetap ada walaupun sudah dilakukan pengendalian
terhadap faktor-faktor lain yang turut berperan terhadap kematian seperti
beratnya komorbid, demensia, gangguan status fungsional, domisili (panti atau
bukan) serta faktor perancu yang lain (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2009) .
No comments:
Post a Comment